SEPASANG MATA PELANGI

Di dalam kegelapan tanpa bintang ini, mulai
tersebar Bau darah dan mesiu keseluruh arah, serta isak tangis menahan rasa
kehilangan, pecah menggelegar ke atas langit. belum lagi ratusan bangkai yang
terbujur kaku menunggu untuk diselamkan kedasar bumi. Hanya harapan yang jatuh
bersama air mata yang mampu mengokohkan pondasi
samangat untuk terus hidup.
Dalam rasa
gelisah dan rasa takut setengah mati bersama ribuan gambaran akan peperangan
hari itu. Membuat seorang istri menuggu suaminya dengan air mata yang tiada
putus mengalir degan penuh do’a dan harapan yang tergantung di sebuah benang
tipis yang berbebankan takdir.
Bukan karna takut suaminya mati demi tanah
air, Melainkan takut atas kehilangan seorang ayah terhadap anak yang di
kandungnya.
Seorang istri ini bernama Ayunda Resreani, ia
terlahir dari bangsawan melayu yang ada di batang tuaka. Ia mempunyai faras nan cantik dan bersahaja. Kata-kata
yang Ia gunakan sangatlah lembut dan
membuat para pendengarnya menjadi tenang dan tentram. Belum lagi cara dia
berpakaian yang sangat anggun dan selalu
menjaga marwahnya sebagai wanita yang beradab. Dan tidak kalah pentingnya
ayunda resreani mempunyai kepribadian yang sangat anggun namun tertutup, ia
banyak melakukan sesuatu dari pada berbicara. Ia selalu menjauh dari keramaian
dan tidak suka mencari perhatian. Tidak
salah semua para lelaki mendambakanya
pada saat itu.
Pada umur 18 tahun, Ayunda resreani menikahi
seorang pedagang yang berasal dari tanah kerajaan siak yang bernama Hamza Ahmad.
Hamza merupakan pemuda yang bijaksana lagi jujur, trik trik jitu perdagangannya
membuat namanya menjadi melambung tinggi pada zamannya saat itu, sekaligus mengangkat derajatnya yang terlahir
dari keluarga yang miskin.
Namun, di balik sosok Hamza yang cerdas, ia
juga memiliki karakter yang ambisius, apa saja yang ia inginkan, pasti akan ia
kejar sehingga ia mendapatkan apa yang di inginkan tersebut.
Begitulah cara ia mendapatkan Ayunda
Resreani, sehingga ia mempersunting bidadari yang cantik tersebut. selama 3
tahun mereka tinggal di sebuah desa yang cukup terpencil namun memiliki sumber
daya alam yang melimpah ruah. Tempat itu sekarang di kenal dengan kota Tembilahan,
yang dahulunya bertepatan di perbatasan
kerajaan Rengat.
Selama 3 tahun Hamza dan Ayu menjalani
hidupnya yang normal dan penuh dengan kebahagian, bahkan lebih bahagia dari
pada orang normal kebanyakkan. Hamza yang memutuskan hanya berkerja sebagai
pedagang kecil-kecilan dan sebagai petani, lebih banyak meluangkan waktunya
bersama istrinya tercinta, Ayu pun begitu, ia memilih meninggalkan keluarganya
yang kaya raya yang bergelar bangsawan hanya untuk menghargai kerja keras
suaminya dan meluangkan waktunya berbagi bersama suami yang ia cintai.
Namun kebahagian itu tidak selamanya mereka
dapat rasakan. Sebelum bangsa asing mencoba menjajah negeri mereka. Semuanya
menjadi berubah.
Daerah yang kaya dan makmur itu, menjadi
medan perang yang lagi gersang. Sungai-sungai yang dahulu berwarna biru
sekarang berubah menjadi merah bercampur darah, sawah dan kebun yang dahulu
terbentang megah, menjadi ladang tandus penuh dengan ribuan bekas senjata dan
bangkai sisa dari perperangan yang tiada hentinya. Aroma hembusan udara yang
dahulu sejuk dan segar berubah menjadi bau busuk dari mesiu dan bangkai-bangkai
yang tidak terurus lagi. Rumah-rumah kediaman warga yang dahulunya tempat
berlindung dari sengatan matahari dan derasnya air hujan sekarang berubah
menjadi benteng pertahanan terakhir bagi para pejuang pembela tanah airnya.
Warga yang dahulunya senang bersilahtulrahmi
dan gemar saling kunjung mengunjungi satu sama lain, dan terkenal dengan
keramah-tamahanya. Sekarang berubah menjadi beringas dan terlihat sangat sadis.
Bagaimana tidak, banyak di antara mereka
kehilangan ayah mereka, kehilangan abang mereka, kehilangan sanak saudara
mereka yang gugur berperang mempertahankan hak mereka. Ibu-ibu mereka,
adek-adek mereka, hilang di bawa penjajah untuk menjadi tawanan dan budak dan
tak pernah kembali lagi.
Situasi di sana menjadi sangat tidak
terkendalikan lagi. Semua peperangan ini mengubah pola kehidupan warga setempat
untuk bisa bertahan hidup. Dengan kondisi ini juga warga setempat meninggalkan
rumah-rumah mereka dan berdiam diri di dalam gua-gua yang tidak di ketahui oleh
penjajah untuk terus bertahan hidup.
Pada pagi hingga petang, mereka yang sudah
lanjut usia dan wanita hanya bisa berdiam diri dan tetap tinggal di gua
tersebut untuk bertahan hidup, sedangkan para pria yang di anggap mampu
berperang mengangkat tombak, pedang, dan alat perang seadanya untuk membebaskan
tanah air mereka dan melindungi sisa-sisa dari keluarga mereka.
Sedangkan malam harinya, barulah para yang
lanjut usia dan wanita keluar dari gua untuk mencari buah-buahan dan kelinci
kecil dan apapun yang bisa di makan untuk terus bisa bertahan hidup. Sebagian
yang lainya menunggu pulang saudara-saudara mereka yang berperang pagi ini.
Perasaan resah gelisah dan gundah gulanah yang
teramat sangat, menyelimuti penantian kepulangan sanak saudara yang
mungkin-mungkin saja gugur di medan perang. Hanya harapan dan do’a yang bisa di
panjatkan agar orang-orang yang mereka kasihi dapat pulang dengan selamat.
Begitu juga dengan perasaan Ayunda Resreani
yang menunggu kepulangan suami yang ia cintai. Do’a dan harapan mencuat tinggi
ke permukaan untuk mengokohkan hati bahwa anak yang ia kandunginya akan melihat
wajah dari Ayahnya yakni ialah Hamza Ahmad.
Dengan kecerdasan yang dimiliki Hamza, dia di
tunjuk untuk memimpin kelompok kecil ini dalam memerangi para penjajah yang
mengusik daerah tersebut. Hamza bukan seorang pahlawan yang namanya mencuat
tinggi seperti pahlawan-pahlawan nasional lainya. Namun, Hamza cukup menjadi
pahlawan di daerahnya dan tentu saja pahlawan yang sejati bagi istrinya
sendiri. Ini di tunjukkan karena ia mampu untuk menghalau para penjajah yang masuk
ke wilayahnya.
Pada hari itu, Hamza dan para pejuang lainya
berniat untuk merobohkan jembatan yang menjadi penghubung jalur darat di daerah
tersebut, jembatan ini di gunakan para penjajah untuk mengirimkan senjata,
makanan dan kebutuhan para tentara penjajah dalam mendiami posko-posko di daerah
jajahan mereka.
Para pejuang pergi pagi-pagi sekali dengan
senjata dan perbekalan seadanya, dan hanya bermodal tekat, harapan dan rasa
cinta yang tersimpan di dalam hati, serta rasa semangat untuk melindungi sisa keluarga
yang mereka miliki, para pejuang ini, mengokohkan langkah mereka untuk
menyonsong kemerdekaan bagi sanak saudara yang mereka sayangi dan cintai.
Haripun semakin senja, matahari sudah tidak
terlihat lagi, namun Hamza dan pejuang lainya belum terlihat kembali dari
peperangan itu, Ayunda Resreani dan para istri-istri lainya di goa, menjadi
sangat merasa khawatir dan mulai gelisah, mungkinkah peperangan kali ini
mengambil mereka, mungkinkah mereka tidak akan kembali lagi. Hanya kata-kata
tersebut yang berputar-putar di otak mereka.
Di dalam penantian yang tiada pastinya,
terdengar suara dari kejauhan yang menyorakkan kata-kata MERDEKA… MERDEKA… MERDEKA…, dan akhirnyapun Ayunda Resreani
tersenyum lega karena ia mengetahui bahwa suara yang menggelegar itu adalah
suara suaminya Hamza. Dengan perasaan yang lega, Ayu memegang perutnya yang
telah membesar dan berkata ”Nak… ayahmu sudah pulang…”
Sesampainya rombongan itu ke dalam goa,
Suasana harupun menyeruat, mengetahui bahwa 4 dari 22 pejuang yang ikut perang
hari itu tidak dapat pulang bersama mereka kembali, karena darah mereka tumpah
untuk misi hari itu. Namun, berkat ke-4 pejuang yang gugur tadi, akhirnya
jembatan yang menjadi jalur pemasok kebutuhan penjajah tersebut telah berhasil
di hancurkan.
Setelah suasana haru dan beberapa do’a di
panjatkan, Hamza pun mendekati istrinya yang terlihat lemas tak berdaya di
sudut keramaian, karena beban yang sangat berat di dalam kandungan Ayu, belum
lagi ketersediaan bahan makanan yang sangat sedikit sehingga Ayu tidak dapat
memenuhi gizi sang buah hati dan dirinya sendiri.
Dengan langkah yang gagah Hamza mendekati
istrinya dan berkata sambil melihat dan menyentuh perut Ayu yang berisikan buah
hati mereka “Nak… Ayah Pulang, sebentar lagi perang akan usai dan kita akan
tinggal di rumah kecil yang mempunyai halaman belakang yang sejuk dan banyak
terdapat bunga, kamu pasti akan senang, begitu juga dengan kamu wahai istriku,
aku berjanji akan menyudahi perang itu dan mengembalikan semua senyummu seperti
dahulu, aku janji”. Ayunda hanya dapat tersenyum sambil matanya berkaca-kaca.
Ia memegang sebagian wajah suaminya yang lemas bercampur lumpur dengan tangan
kanannya dan mengisyaratkan bahwa dia telah bahagia dimanapun ia berada asalkan
bersama suaminya yang ia cintai.
Malampun berlalu, kegiatan-kegiatan di dalam
goa semakin berkurang, hanya tinggallah beberapa penjaga untuk tetap mengintai
dari kejauhan untuk mengamankan keadaan goa tempat kelompok kecil itu tinggal.
Mata-mata yang lelah melihat kejadian hari itu,
mulai meredup seiring dengan bertambahnya pekatnya malam. Pejaman mata ini membawa
harapan bahwa esok akan lebih baik dari hari ini.
A. Sepasang Mata Pelangi
Seiring dengan do’a dan harapan yang baru
matahari pagi mulai kembali bersinar lagi. Keheningaan akan cengkaman
peperangan mulai terasa lagi. Seperti biasanya, para laki-laki dan pejuang
lainya mulai bersiap-siap untuk menyiapkan senjata untuk memantau keadaan
peperangan, dan seperti biasanya juga para lansia, wanita dan pejuang yang
terluka bersembunyi di dalam goa untuk terus bertahan hidup.
Tetapi bagi Hamza, hari ini terasa berbeda
dengan hari-hari biasanya, hatinya mulai berat meninggalkan istrinya yang ia
cintai, maklum saja usia kandungan Ayu telah memasuki bulan ke-9, tinggal
menunggu saja kapan bayinya akan terlahir
Berkali-kali Hamza melihat kearah istrinya
dan melihat kandungan istrinya yang telah sangat besar, jauh di dalam hati Hamza,
ia tidak ingin meninggalkan istrinya yang sangat ia cintai itu, apa lagi pagi
ini Ayu mulai menahan rasa nyeri akan kandungannya tersebut. Hamza sangat
mengetahui kondisi istrinya tersebut. Namun apalah yang bisa di lakukan oleh Hamza,
dalam peperangan ini dia menjadi pemimpin yang harus melindungi puluhan nyawa
saudara-saudara yang mempercayainya sebagai pemimpin mereka.
Sebelum Hamza pergi ke medan perang, ia
menjumpai istrinya, dan mengatakan hal yang tidak seperti biasanya. Hamza
berkata kepada istrinya “Wahai istriku yang sangat aku cintai, Tolong hari ini
engkau menungguKu pulang, jangan engkau menghadapi kesakitan itu tanpa adanya
diriku, berjanjilah bahwa akulah orang yang akan menggenggam tanganmu saat
engkau menahan rasa sakit, berjanjilah bahwa akulah orang yang menghapus air
matamu saat engkau tidak mampu lagi menahan sakit itu, dan berjanji jugalah
bahwa akulah orang yang akan mengazankaan anak yang akan engkau lahirkan nanti.”
Ayunda hanya mampu menatap mata Hamza dengan penuh harapan seraya mengangguk
dengan mata yang berkaca-kaca sambil melepaskan Hamza pergi bersama pejuang-pejuang
lainnya untuk membela tanah airnya dan juga untuk terus bertahan hidup.
Suasana dalam goa kembali hening, penghuni
yang di dalam goa tidak mampu berkata-kata dan bersuara gaduh, mereka takut
akan penjajah akan menemui persembunyian mereka. Mereka hanya bisa diam dan
tidak melakukan apa-apa meskipun tidak asing lagi bagi mereka mendengar suara-suara
dari kejahuan seperti suara letupan-letupan senjata api dan jeritan-jeritan kesakitan
akan perihnya hantaman senjata yang mencabut nyawa-nyawa yang enggan untuk mati.
Entah itu dari penjajah, entah itu dari sanak keluarga mereka yang berperang
demi mereka.
Di dalam keheningan goa, tiba-tiba keheningan
itu pecah oleh suara jeritan kesakitan dari dalam goa, jeritan sayu ini berasal
dari mulut Ayunda yang tidak mampu lagi menahan kesakitan yang ia rasakan atas
isi perutnya yang mulai mendesak ingin keluar. Seiring dengan jeritan tersebut,
orang-orang yang ada di dalam goa mengetahui bahwa Ayunda akan segera
melahirkan anak pertamanya.
Segera salah seorang wanita lanjut usia di
dalam goa tersebut, menyelimuti Ayunda dengan kain panjang dan membantu Ayunda
untuk melahirkan anak Pertamanya itu. Dalam proses persalinan tersebut, salah
seorang pejuang yang terluka yakni Mahmud Effendi, memaksakan dirinya untuk
bangun dan mengambil inisiatif untuk mencari Hamza agar segera pulang sehingga
Hamza dapat menyaksikan kelahiran anak pertamanya tersebut.
Bersama Syarif Mustamrin, Mahmud
mempersiapkan untuk persiapan keberangkatanya mencari hamza, Syarif adalah salah
seorang yang lanjut usia namun memiliki semangat yang kuat dan tekat yang baja,
mereka bergegas mengangkat senjata dan mulai mencari Hamza di medan peperangan.
Detik-detik
berganti menit dan menit-menitpun berganti dengan jam, namun suasana yang di
dalam goa masih tetap dalam keadaan kurang terkendali. Banyakknya suara yang
menggaduh dan juga jeritan Ayunda yang menahan kesakitan akan perihnya proses
melahirkan. Belum lagi sebagian anak-anak dan para ibu-ibu di dalam goa mulai
dalam keadaan panic, karena ketakutan suara-suara gaduh ini akan menyebabkan
persembunyian mereka di ketahui oleh para penjajah. Namun tanpa mereka sadari,
kepanikkan mereka jugalah yang menambah suasana keruh di dalam goa dan ikut
menyumbang akan suara-suara gaduh yang akan menyebabkan persembunyian mereka di
ketahui.
Di tempat lain, Mahmud dan Syarif yang
mencari Hamza ke medan perang mendapatkan masalah, di dalam perjalanan mereka
menemukan banyaknya para bala tentara penjajah yang berkeliaran didaerah
mereka, para tentara penjajah tersebut terlihat sedang mencari sesuatu.
Mahmud merasa terkejut dengan keberadaan
tentara-tentara penjajah di daerah mereka, karena biasanya para tentara
penjajah tersebut tidak pernah banyak dan sangat teliti untuk menemukan mereka.
Mahmud dan Syarif akhirnya hanya bisa
bersembunyi didalam semak-semak belukar dari para tentara penjajah yang sangat
ingin menemukan kelompok mereka. Di dalam persembunyian tersebut, darah Mahmud
mulai mengecer dari pergelangan bahunya, perban yang ia gunakan, tidak mampu
lagi membendung ceceran darah yang meluap dari tubuh Mahmud yang telah terluka
dari peperangan sebelumnya.
Dengan nafas yang terengah-engah, Mahmud
mulai berkata kepada Syarif, “dengan luka ini, aku akan hanya menyusahkan
kalian semuanya saja, aku tidak mampu lagi menghadapi peperangan ini. Aku tidak
ingin lebih menyusahkan kalian lagi. Seandainya aku mati hari ini, ijinkan aku
memberikan suatu yang berarti bagi sahabatku Hamza, ia adalah sahabatku dari
kecil, pada peperangan di jembatan kemarin, aku hampir saja terbunuh, namun dia
telah menyelamatkanku. Seandainya ada cara untuk membalaskan hutang budiku padanya
adalah dengan caraku mempertemukan ia dengan anaknya, karena aku tahu, ia
memimpikan akan memegang tangan Ayu saat Ayu kesakitan dalam melahirkan, ia
memimpikan menghapus air mata Ayu saat Ayu tidak mampu lagi menahan sakit itu,
dan Hamza juga bermimpi akan mengazankaan
anak yang akan Ayu lahirkan nanti. Dan jika aku harus mati hari ini, Aku hanya
ingin menyatakan bahwa aku mencintai Ayu, namun dia bukanlah jodohku, aku sangat
ingin membahagiakannya, semoga dengan ini aku dapat membahagiakan Ayu dan membalas
budi Hamza”. Syarif mulai kebingungan dengan kata-kata yang Mahmud ucapkan.
Syarif cuma mampu menatap ke arah Mahmud dan mencoba meredam luka Mahmud dengan
menyobekkan pakaian yang ia gunakan dan membalutkannya kepada Mahmud. Saat
syarif membalut bekas luka Mahmud, Mahmud mulai merencanakan sesuatu yang tidak
masuk di akal. Ia merencanakan untuk menghadapi seluruh pasukan tentara
penjajah yang sedang melakukan pencarian. Saat baku tembak terjadi, pasti Hamza
akan mendengar suara tembakkan itu dan segera datang ketempat mereka, saat
itulah syarif membawa Hamza pulang untuk bertemu dengan istrinya. Tapi Syarif
semakin bingung, bagaimana caranya Mahmud bisa menghadapi seluruh pasukan
penjajah yang sedang berpatroli mencari mereka. Dan Mahmud berkata dengan
tegas” kamu tunggu disini, dan aku kesana, jika kau melihat Hamza, lansung ajak
pulang untuk menemui istrinya, jagan bilang padanya aku ada disini, karna aku
tidak akan pernah kembali lagi.” Syarif masih tetap kebingungan atas rencana
tersebut, namun ia mengerti dan melaksanakan perintah dari Mahmud tersebut.
Akhirnya dengan terbata-bata Mahmud mulai bergerak mengahadapi para bala
tentara penjajah dengan hanya sebuah tombak dan sabuah senjata api laras pendek
dengan 1 peluru saja.
Dengan mengendap-endap Mahmud menghujamkan
tombak yang ia gunakan ke punggung salah seorang tentara penjajah yang sedang
ramai berpatroli itu, tentu saja hal itu memancing perhatian dan mengundang
hampir seluruh rombongan patrol yang sedang melakukan pencarin tersebut. Mahmud
di hadiahi dengan 2 timah panas di kaki kanannya dan di tangan kanannya,
sepertinya para penjajah tidak mau membunuh Mahmud karena ingin memperoleh
informasi dari Mahmud. Namun sayang, Mahmud tidak pernah ingin hidup di dalam
rombongan pasukan penjajah dan memberi informasi apapun kepada penjajah, dengan
mengucapkan MERDEKA, ia mengambil
senjata laras pendeknya dan menembaki kepalanya sendiri. Berceceranlah darah
Anak Bangsa ke Tanah air dengan satu harapan yang terucap dari mulutnya pada
saat-saat terakhir hidupnya.
Namun keinginan dan rencana yang di buat oleh
Mahmud jelas-jelas berhasil. Hamza dan pasukan, dengan bersembunyi-sembunyi
mulai menelusuri ke arah suara letupan itu, dan menemukan keberadaan Syarif.
Hamza juga menyaksikan jenazah Mahmud yang di seret oleh penjajah. Darah hamza
mulai mendidih dia menyiapkan senjatanya dan pasukanya untuk siap melakukan
perang dengan para tentara penjajah tersebut.
Sebelum Hamza dan pasukan menyerang, Syarif
mendekati Hamza dan menyatakan bahwa istrinya sedang menjalani proses
persalinan. Jika terlambat mungkin saja Hamza tidak akan bertemu dengan
istrinya lagi, dan belum lagi rencana yang di susun oleh mahmud akan
berantakkan dan tentu saja Mahmud akan benar-benar marah kepada Hamza karena
nyawanya terbuang percuma, belum lagi kondisi Ayunda yang sangat lemah.
Mendengar berita tersebut, Hamzah hanya mampu
terdiam sejenak dan terlihat matanya mulai berkaca-kaca dan tangan hamza
terlihat mengepal menggenggam sangat erat.
Melihat hamza yang terpaku, para pasukan
mulai gelisah rasa takut mereka mencuat setelah melihat salah seorang sahabat
baik mereka terbujur kaku tak bernyawa dan terseret-seret di tangan para
penjajah, belum lagi pemimpin mereka hanya terpaku dan tidak melakukan apapun.
Syarif mulai menyadari situasi yang tidak
menentu ini, dan mencoba mendekati hamza, syarif menanyakan “apa yang harus
kami lakukan sekarang?”
Hamza tertunduk dan terlihat sedang
memikirkan sesuatu, akhirnya dengan suaranya yang parau Hamza memberikan
senjata api yang ia pegang di tangan kanannya dan sebilah kris kecil dari saku
sebelah kirinya seraya berkata “ wahai Pamanku Syarif, ambillah seluruh sanjata
yang aku miliki ini, dan berperanglah bersamaku, untuk sekarang, aku tidak
mampu lagi untuk membela saudara-saudaraku ini. Aku harap dengan senjata ini,
engkau mampu menjaga mereka dan bertahanlah untuk mengambil jenazah saudara
kita disana tanpa Para penjajah mengetahui keberadaanmu. Aku akan menepati
janjiku terhadap istriku.
Dengan rasa cinta yang terbakar oleh
semangatnya, Syarif yang telah berumur itu, mengambil senjata api dan kris dari
Hamza, dan syarif mengulurkan tangan kanannya ke arah pundak hamzah dan berkata
“kita semua di sini akan baik-baik saja wahai anakku”
Sambil mengangguk hamzah mulai mengambil
langkah untuk lansung berlari pulang ke arah goa tempat mereka tinggal, namun
belum sempat hamza berlari degan cepat, langkah hamza terhenti sejenak. dua
orang para sahabat dari pasukan mengikuti hamza seraya berkata “kami akan ikut
pulang untuk menjaga pemimpin kami dengan selamat” tanpa berlama-lama hamzah
mengangguk dan melanjutkan perjalananya dengan berlari sangat kencang......... "...."
BERSAMBUNG ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar