Rabu, 27 Maret 2013

Cerita Pendek yang panjang


SEPASANG MATA PELANGI
Derai air hujan jatuh satu persatu  tanpa lelah silih berganti, sinar matharipu mulai redup menandakan malam siap untuk menyelimuti hari ini. suara-suara letupan senjata, dentingan besi dan tombak yang saling menghujam mulai terhening bersama suara lolongan jeritan jeritan yang menahan pedih.
Di dalam kegelapan tanpa bintang ini, mulai tersebar Bau darah dan mesiu keseluruh arah, serta isak tangis menahan rasa kehilangan, pecah menggelegar ke atas langit. belum lagi ratusan bangkai yang terbujur kaku menunggu untuk diselamkan kedasar bumi. Hanya harapan yang jatuh bersama air mata yang mampu mengokohkan pondasi  samangat untuk terus hidup.
Dalam rasa  gelisah dan rasa takut setengah mati bersama ribuan gambaran akan peperangan hari itu. Membuat seorang istri menuggu suaminya dengan air mata yang tiada putus mengalir degan penuh do’a dan harapan yang tergantung di sebuah benang tipis yang berbebankan takdir.
Bukan karna takut suaminya mati demi tanah air, Melainkan takut atas kehilangan seorang ayah terhadap anak yang di kandungnya.
Seorang istri ini bernama Ayunda Resreani, ia terlahir dari bangsawan melayu yang ada di batang tuaka. Ia mempunyai  faras nan cantik dan bersahaja. Kata-kata yang  Ia gunakan sangatlah lembut dan membuat para pendengarnya menjadi tenang dan tentram. Belum lagi cara dia berpakaian  yang sangat anggun dan selalu menjaga marwahnya sebagai wanita yang beradab. Dan tidak kalah pentingnya ayunda resreani mempunyai kepribadian yang sangat anggun namun tertutup, ia banyak melakukan sesuatu dari pada berbicara. Ia selalu menjauh dari keramaian dan tidak suka mencari perhatian.  Tidak salah  semua para lelaki mendambakanya pada saat itu.
Pada umur 18 tahun, Ayunda resreani menikahi seorang pedagang yang berasal dari tanah kerajaan siak yang bernama Hamza Ahmad. Hamza merupakan pemuda yang bijaksana lagi jujur, trik trik jitu perdagangannya membuat namanya menjadi melambung tinggi pada zamannya saat itu,  sekaligus mengangkat derajatnya yang terlahir dari keluarga yang miskin.
Namun, di balik sosok Hamza yang cerdas, ia juga memiliki karakter yang ambisius, apa saja yang ia inginkan, pasti akan ia kejar sehingga ia mendapatkan apa yang di inginkan tersebut.
Begitulah cara ia mendapatkan Ayunda Resreani, sehingga ia mempersunting bidadari yang cantik tersebut. selama 3 tahun mereka tinggal di sebuah desa yang cukup terpencil namun memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Tempat itu sekarang di kenal dengan kota Tembilahan, yang dahulunya  bertepatan di perbatasan kerajaan Rengat.
Selama 3 tahun Hamza dan Ayu menjalani hidupnya yang normal dan penuh dengan kebahagian, bahkan lebih bahagia dari pada orang normal kebanyakkan. Hamza yang memutuskan hanya berkerja sebagai pedagang kecil-kecilan dan sebagai petani, lebih banyak meluangkan waktunya bersama istrinya tercinta, Ayu pun begitu, ia memilih meninggalkan keluarganya yang kaya raya yang bergelar bangsawan hanya untuk menghargai kerja keras suaminya dan meluangkan waktunya berbagi bersama suami yang ia cintai.
Namun kebahagian itu tidak selamanya mereka dapat rasakan. Sebelum bangsa asing mencoba menjajah negeri mereka. Semuanya menjadi berubah.
Daerah yang kaya dan makmur itu, menjadi medan perang yang lagi gersang. Sungai-sungai yang dahulu berwarna biru sekarang berubah menjadi merah bercampur darah, sawah dan kebun yang dahulu terbentang megah, menjadi ladang tandus penuh dengan ribuan bekas senjata dan bangkai sisa dari perperangan yang tiada hentinya. Aroma hembusan udara yang dahulu sejuk dan segar berubah menjadi bau busuk dari mesiu dan bangkai-bangkai yang tidak terurus lagi. Rumah-rumah kediaman warga yang dahulunya tempat berlindung dari sengatan matahari dan derasnya air hujan sekarang berubah menjadi benteng pertahanan terakhir bagi para pejuang pembela tanah airnya.

Warga yang dahulunya senang bersilahtulrahmi dan gemar saling kunjung mengunjungi satu sama lain, dan terkenal dengan keramah-tamahanya. Sekarang berubah menjadi beringas dan terlihat sangat sadis.
Bagaimana tidak, banyak di antara mereka kehilangan ayah mereka, kehilangan abang mereka, kehilangan sanak saudara mereka yang gugur berperang mempertahankan hak mereka. Ibu-ibu mereka, adek-adek mereka, hilang di bawa penjajah untuk menjadi tawanan dan budak dan tak pernah kembali lagi.
Situasi di sana menjadi sangat tidak terkendalikan lagi. Semua peperangan ini mengubah pola kehidupan warga setempat untuk bisa bertahan hidup. Dengan kondisi ini juga warga setempat meninggalkan rumah-rumah mereka dan berdiam diri di dalam gua-gua yang tidak di ketahui oleh penjajah untuk terus bertahan hidup.


Pada pagi hingga petang, mereka yang sudah lanjut usia dan wanita hanya bisa berdiam diri dan tetap tinggal di gua tersebut untuk bertahan hidup, sedangkan para pria yang di anggap mampu berperang mengangkat tombak, pedang, dan alat perang seadanya untuk membebaskan tanah air mereka dan melindungi sisa-sisa dari keluarga mereka.
Sedangkan malam harinya, barulah para yang lanjut usia dan wanita keluar dari gua untuk mencari buah-buahan dan kelinci kecil dan apapun yang bisa di makan untuk terus bisa bertahan hidup. Sebagian yang lainya menunggu pulang saudara-saudara mereka yang berperang pagi ini.
Perasaan resah gelisah dan gundah gulanah yang teramat sangat, menyelimuti penantian kepulangan sanak saudara yang mungkin-mungkin saja gugur di medan perang. Hanya harapan dan do’a yang bisa di panjatkan agar orang-orang yang mereka kasihi dapat pulang dengan selamat.


Begitu juga dengan perasaan Ayunda Resreani yang menunggu kepulangan suami yang ia cintai. Do’a dan harapan mencuat tinggi ke permukaan untuk mengokohkan hati bahwa anak yang ia kandunginya akan melihat wajah dari Ayahnya yakni ialah Hamza Ahmad.
Dengan kecerdasan yang dimiliki Hamza, dia di tunjuk untuk memimpin kelompok kecil ini dalam memerangi para penjajah yang mengusik daerah tersebut. Hamza bukan seorang pahlawan yang namanya mencuat tinggi seperti pahlawan-pahlawan nasional lainya. Namun, Hamza cukup menjadi pahlawan di daerahnya dan tentu saja pahlawan yang sejati bagi istrinya sendiri. Ini di tunjukkan karena ia mampu untuk menghalau para penjajah yang masuk ke wilayahnya.
Pada hari itu, Hamza dan para pejuang lainya berniat untuk merobohkan jembatan yang menjadi penghubung jalur darat di daerah tersebut, jembatan ini di gunakan para penjajah untuk mengirimkan senjata, makanan dan kebutuhan para tentara penjajah dalam mendiami posko-posko di daerah jajahan mereka.
Para pejuang pergi pagi-pagi sekali dengan senjata dan perbekalan seadanya, dan hanya bermodal tekat, harapan dan rasa cinta yang tersimpan di dalam hati, serta rasa semangat untuk melindungi sisa keluarga yang mereka miliki, para pejuang ini, mengokohkan langkah mereka untuk menyonsong kemerdekaan bagi sanak saudara yang mereka sayangi dan cintai.
Haripun semakin senja, matahari sudah tidak terlihat lagi, namun Hamza dan pejuang lainya belum terlihat kembali dari peperangan itu, Ayunda Resreani dan para istri-istri lainya di goa, menjadi sangat merasa khawatir dan mulai gelisah, mungkinkah peperangan kali ini mengambil mereka, mungkinkah mereka tidak akan kembali lagi. Hanya kata-kata tersebut yang berputar-putar di otak mereka.
Di dalam penantian yang tiada pastinya, terdengar suara dari kejauhan yang menyorakkan kata-kata MERDEKA… MERDEKA… MERDEKA…, dan akhirnyapun Ayunda Resreani tersenyum lega karena ia mengetahui bahwa suara yang menggelegar itu adalah suara suaminya Hamza. Dengan perasaan yang lega, Ayu memegang perutnya yang telah membesar dan berkata ”Nak… ayahmu sudah pulang…”
Sesampainya rombongan itu ke dalam goa, Suasana harupun menyeruat, mengetahui bahwa 4 dari 22 pejuang yang ikut perang hari itu tidak dapat pulang bersama mereka kembali, karena darah mereka tumpah untuk misi hari itu. Namun, berkat ke-4 pejuang yang gugur tadi, akhirnya jembatan yang menjadi jalur pemasok kebutuhan penjajah tersebut telah berhasil di hancurkan.
Setelah suasana haru dan beberapa do’a di panjatkan, Hamza pun mendekati istrinya yang terlihat lemas tak berdaya di sudut keramaian, karena beban yang sangat berat di dalam kandungan Ayu, belum lagi ketersediaan bahan makanan yang sangat sedikit sehingga Ayu tidak dapat memenuhi gizi sang buah hati dan dirinya sendiri.
Dengan langkah yang gagah Hamza mendekati istrinya dan berkata sambil melihat dan menyentuh perut Ayu yang berisikan buah hati mereka “Nak… Ayah Pulang, sebentar lagi perang akan usai dan kita akan tinggal di rumah kecil yang mempunyai halaman belakang yang sejuk dan banyak terdapat bunga, kamu pasti akan senang, begitu juga dengan kamu wahai istriku, aku berjanji akan menyudahi perang itu dan mengembalikan semua senyummu seperti dahulu, aku janji”. Ayunda hanya dapat tersenyum sambil matanya berkaca-kaca. Ia memegang sebagian wajah suaminya yang lemas bercampur lumpur dengan tangan kanannya dan mengisyaratkan bahwa dia telah bahagia dimanapun ia berada asalkan bersama suaminya yang ia cintai.
Malampun berlalu, kegiatan-kegiatan di dalam goa semakin berkurang, hanya tinggallah beberapa penjaga untuk tetap mengintai dari kejauhan untuk mengamankan keadaan goa tempat kelompok kecil itu tinggal.
Mata-mata yang lelah melihat kejadian hari itu, mulai meredup seiring dengan bertambahnya pekatnya malam. Pejaman mata ini membawa harapan bahwa esok akan lebih baik dari hari ini.


A. Sepasang Mata Pelangi
Seiring dengan do’a dan harapan yang baru matahari pagi mulai kembali bersinar lagi. Keheningaan akan cengkaman peperangan mulai terasa lagi. Seperti biasanya, para laki-laki dan pejuang lainya mulai bersiap-siap untuk menyiapkan senjata untuk memantau keadaan peperangan, dan seperti biasanya juga para lansia, wanita dan pejuang yang terluka bersembunyi di dalam goa untuk terus bertahan hidup.
Tetapi bagi Hamza, hari ini terasa berbeda dengan hari-hari biasanya, hatinya mulai berat meninggalkan istrinya yang ia cintai, maklum saja usia kandungan Ayu telah memasuki bulan ke-9, tinggal menunggu saja kapan bayinya akan terlahir
Berkali-kali Hamza melihat kearah istrinya dan melihat kandungan istrinya yang telah sangat besar, jauh di dalam hati Hamza, ia tidak ingin meninggalkan istrinya yang sangat ia cintai itu, apa lagi pagi ini Ayu mulai menahan rasa nyeri akan kandungannya tersebut. Hamza sangat mengetahui kondisi istrinya tersebut. Namun apalah yang bisa di lakukan oleh Hamza, dalam peperangan ini dia menjadi pemimpin yang harus melindungi puluhan nyawa saudara-saudara yang mempercayainya sebagai pemimpin mereka.
Sebelum Hamza pergi ke medan perang, ia menjumpai istrinya, dan mengatakan hal yang tidak seperti biasanya. Hamza berkata kepada istrinya “Wahai istriku yang sangat aku cintai, Tolong hari ini engkau menungguKu pulang, jangan engkau menghadapi kesakitan itu tanpa adanya diriku, berjanjilah bahwa akulah orang yang akan menggenggam tanganmu saat engkau menahan rasa sakit, berjanjilah bahwa akulah orang yang menghapus air matamu saat engkau tidak mampu lagi menahan sakit itu, dan berjanji jugalah bahwa akulah orang yang akan mengazankaan anak yang akan engkau lahirkan nanti.” Ayunda hanya mampu menatap mata Hamza dengan penuh harapan seraya mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca sambil melepaskan Hamza pergi bersama pejuang-pejuang lainnya untuk membela tanah airnya dan juga untuk terus bertahan hidup.
Suasana dalam goa kembali hening, penghuni yang di dalam goa tidak mampu berkata-kata dan bersuara gaduh, mereka takut akan penjajah akan menemui persembunyian mereka. Mereka hanya bisa diam dan tidak melakukan apa-apa meskipun tidak asing lagi bagi mereka mendengar suara-suara dari kejahuan seperti suara letupan-letupan senjata api dan jeritan-jeritan kesakitan akan perihnya hantaman senjata yang mencabut nyawa-nyawa yang enggan untuk mati. Entah itu dari penjajah, entah itu dari sanak keluarga mereka yang berperang demi mereka.
Di dalam keheningan goa, tiba-tiba keheningan itu pecah oleh suara jeritan kesakitan dari dalam goa, jeritan sayu ini berasal dari mulut Ayunda yang tidak mampu lagi menahan kesakitan yang ia rasakan atas isi perutnya yang mulai mendesak ingin keluar. Seiring dengan jeritan tersebut, orang-orang yang ada di dalam goa mengetahui bahwa Ayunda akan segera melahirkan anak pertamanya.
Segera salah seorang wanita lanjut usia di dalam goa tersebut, menyelimuti Ayunda dengan kain panjang dan membantu Ayunda untuk melahirkan anak Pertamanya itu. Dalam proses persalinan tersebut, salah seorang pejuang yang terluka yakni Mahmud Effendi, memaksakan dirinya untuk bangun dan mengambil inisiatif untuk mencari Hamza agar segera pulang sehingga Hamza dapat menyaksikan kelahiran anak pertamanya tersebut.
Bersama Syarif Mustamrin, Mahmud mempersiapkan untuk persiapan keberangkatanya mencari hamza, Syarif adalah salah seorang yang lanjut usia namun memiliki semangat yang kuat dan tekat yang baja, mereka bergegas mengangkat senjata dan mulai mencari Hamza di medan peperangan.
 Detik-detik berganti menit dan menit-menitpun berganti dengan jam, namun suasana yang di dalam goa masih tetap dalam keadaan kurang terkendali. Banyakknya suara yang menggaduh dan juga jeritan Ayunda yang menahan kesakitan akan perihnya proses melahirkan. Belum lagi sebagian anak-anak dan para ibu-ibu di dalam goa mulai dalam keadaan panic, karena ketakutan suara-suara gaduh ini akan menyebabkan persembunyian mereka di ketahui oleh para penjajah. Namun tanpa mereka sadari, kepanikkan mereka jugalah yang menambah suasana keruh di dalam goa dan ikut menyumbang akan suara-suara gaduh yang akan menyebabkan persembunyian mereka di ketahui.
Di tempat lain, Mahmud dan Syarif yang mencari Hamza ke medan perang mendapatkan masalah, di dalam perjalanan mereka menemukan banyaknya para bala tentara penjajah yang berkeliaran didaerah mereka, para tentara penjajah tersebut terlihat sedang mencari sesuatu.
Mahmud merasa terkejut dengan keberadaan tentara-tentara penjajah di daerah mereka, karena biasanya para tentara penjajah tersebut tidak pernah banyak dan sangat teliti untuk menemukan mereka.
Mahmud dan Syarif akhirnya hanya bisa bersembunyi didalam semak-semak belukar dari para tentara penjajah yang sangat ingin menemukan kelompok mereka. Di dalam persembunyian tersebut, darah Mahmud mulai mengecer dari pergelangan bahunya, perban yang ia gunakan, tidak mampu lagi membendung ceceran darah yang meluap dari tubuh Mahmud yang telah terluka dari peperangan sebelumnya.
Dengan nafas yang terengah-engah, Mahmud mulai berkata kepada Syarif, “dengan luka ini, aku akan hanya menyusahkan kalian semuanya saja, aku tidak mampu lagi menghadapi peperangan ini. Aku tidak ingin lebih menyusahkan kalian lagi. Seandainya aku mati hari ini, ijinkan aku memberikan suatu yang berarti bagi sahabatku Hamza, ia adalah sahabatku dari kecil, pada peperangan di jembatan kemarin, aku hampir saja terbunuh, namun dia telah menyelamatkanku. Seandainya ada cara untuk membalaskan hutang budiku padanya adalah dengan caraku mempertemukan ia dengan anaknya, karena aku tahu, ia memimpikan akan memegang tangan Ayu saat Ayu kesakitan dalam melahirkan, ia memimpikan menghapus air mata Ayu saat Ayu tidak mampu lagi menahan sakit itu, dan Hamza  juga bermimpi akan mengazankaan anak yang akan Ayu lahirkan nanti. Dan jika aku harus mati hari ini, Aku hanya ingin menyatakan bahwa aku mencintai Ayu, namun dia bukanlah jodohku, aku sangat ingin membahagiakannya, semoga dengan ini aku dapat membahagiakan Ayu dan membalas budi Hamza”. Syarif mulai kebingungan dengan kata-kata yang Mahmud ucapkan. Syarif cuma mampu menatap ke arah Mahmud dan mencoba meredam luka Mahmud dengan menyobekkan pakaian yang ia gunakan dan membalutkannya kepada Mahmud. Saat syarif membalut bekas luka Mahmud, Mahmud mulai merencanakan sesuatu yang tidak masuk di akal. Ia merencanakan untuk menghadapi seluruh pasukan tentara penjajah yang sedang melakukan pencarian. Saat baku tembak terjadi, pasti Hamza akan mendengar suara tembakkan itu dan segera datang ketempat mereka, saat itulah syarif membawa Hamza pulang untuk bertemu dengan istrinya. Tapi Syarif semakin bingung, bagaimana caranya Mahmud bisa menghadapi seluruh pasukan penjajah yang sedang berpatroli mencari mereka. Dan Mahmud berkata dengan tegas” kamu tunggu disini, dan aku kesana, jika kau melihat Hamza, lansung ajak pulang untuk menemui istrinya, jagan bilang padanya aku ada disini, karna aku tidak akan pernah kembali lagi.” Syarif masih tetap kebingungan atas rencana tersebut, namun ia mengerti dan melaksanakan perintah dari Mahmud tersebut. Akhirnya dengan terbata-bata Mahmud mulai bergerak mengahadapi para bala tentara penjajah dengan hanya sebuah tombak dan sabuah senjata api laras pendek dengan 1 peluru saja.
Dengan mengendap-endap Mahmud menghujamkan tombak yang ia gunakan ke punggung salah seorang tentara penjajah yang sedang ramai berpatroli itu, tentu saja hal itu memancing perhatian dan mengundang hampir seluruh rombongan patrol yang sedang melakukan pencarin tersebut. Mahmud di hadiahi dengan 2 timah panas di kaki kanannya dan di tangan kanannya, sepertinya para penjajah tidak mau membunuh Mahmud karena ingin memperoleh informasi dari Mahmud. Namun sayang, Mahmud tidak pernah ingin hidup di dalam rombongan pasukan penjajah dan memberi informasi apapun kepada penjajah, dengan mengucapkan MERDEKA, ia mengambil senjata laras pendeknya dan menembaki kepalanya sendiri. Berceceranlah darah Anak Bangsa ke Tanah air dengan satu harapan yang terucap dari mulutnya pada saat-saat terakhir hidupnya.
Namun keinginan dan rencana yang di buat oleh Mahmud jelas-jelas berhasil. Hamza dan pasukan, dengan bersembunyi-sembunyi mulai menelusuri ke arah suara letupan itu, dan menemukan keberadaan Syarif. Hamza juga menyaksikan jenazah Mahmud yang di seret oleh penjajah. Darah hamza mulai mendidih dia menyiapkan senjatanya dan pasukanya untuk siap melakukan perang dengan para tentara penjajah tersebut.
Sebelum Hamza dan pasukan menyerang, Syarif mendekati Hamza dan menyatakan bahwa istrinya sedang menjalani proses persalinan. Jika terlambat mungkin saja Hamza tidak akan bertemu dengan istrinya lagi, dan belum lagi rencana yang di susun oleh mahmud akan berantakkan dan tentu saja Mahmud akan benar-benar marah kepada Hamza karena nyawanya terbuang percuma, belum lagi kondisi Ayunda yang sangat lemah.
Mendengar berita tersebut, Hamzah hanya mampu terdiam sejenak dan terlihat matanya mulai berkaca-kaca dan tangan hamza terlihat mengepal menggenggam sangat erat.
Melihat hamza yang terpaku, para pasukan mulai gelisah rasa takut mereka mencuat setelah melihat salah seorang sahabat baik mereka terbujur kaku tak bernyawa dan terseret-seret di tangan para penjajah, belum lagi pemimpin mereka hanya terpaku dan tidak melakukan apapun.
Syarif mulai menyadari situasi yang tidak menentu ini, dan mencoba mendekati hamza, syarif menanyakan “apa yang harus kami lakukan sekarang?”
Hamza tertunduk dan terlihat sedang memikirkan sesuatu, akhirnya dengan suaranya yang parau Hamza memberikan senjata api yang ia pegang di tangan kanannya dan sebilah kris kecil dari saku sebelah kirinya seraya berkata “ wahai Pamanku Syarif, ambillah seluruh sanjata yang aku miliki ini, dan berperanglah bersamaku, untuk sekarang, aku tidak mampu lagi untuk membela saudara-saudaraku ini. Aku harap dengan senjata ini, engkau mampu menjaga mereka dan bertahanlah untuk mengambil jenazah saudara kita disana tanpa Para penjajah mengetahui keberadaanmu. Aku akan menepati janjiku terhadap istriku.
Dengan rasa cinta yang terbakar oleh semangatnya, Syarif yang telah berumur itu, mengambil senjata api dan kris dari Hamza, dan syarif mengulurkan tangan kanannya ke arah pundak hamzah dan berkata “kita semua di sini akan baik-baik saja wahai anakku”
Sambil mengangguk hamzah mulai mengambil langkah untuk lansung berlari pulang ke arah goa tempat mereka tinggal, namun belum sempat hamza berlari degan cepat, langkah hamza terhenti sejenak. dua orang para sahabat dari pasukan mengikuti hamza seraya berkata “kami akan ikut pulang untuk menjaga pemimpin kami dengan selamat” tanpa berlama-lama hamzah mengangguk dan melanjutkan perjalananya dengan berlari sangat kencang......... "...."
BERSAMBUNG ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar