KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI YANG TIDAK
MASUK PELANGGARAN HUKUM DI INDONESIA
Pemberitaan pelanggaran kode etik psikologi memang sudah
banyak yang muncul di media cetak dan elektronik, mengenai psikolog klinis yang
berhubungan seksual dengan kliennya. BBC News (2000) memberitakan bahwa seorang
psikolog, yang sudah menikah, berhubungan seksual dengan klien wanitanya yang
datang dengan tujuan untuk melakukan konseling. Kasus ini menyebabkan psikolog
tersebut dikeluarkan dari British Psychological Society (BPS). Psikolog
yang bernama tersebut Timothy Naylor dianggap melakukan pelanggaran kode etik
profesi. Menurut Patricia Hitchcock, juru bicara BPS, menjelaskan bahwa
hubungan personal muncul setelah sesi terapi dan berujung pada seks tanpa
proteksi. Selain itu, Naylor juga meminta wanita tersebut untuk tidak
menceritakan hal ini kepada terapis sebelumnya atau orang lain. Apabila wanita
tersebut menceritakan hal ini, wanita tersebut bisa saja kehilangan pekerjaan
dan hak asuh anaknya.
Brazas dari Lawyers.com (n.d.) juga memberitakan kasus
serupa yaitu seorang psikolog asal Tampa, Florida, lisensinya dicabut setelah
terbukti melakukan hubungan seksual dengan seorang kliennya. Selain itu,
psikolog tersebut meminta perusahaan asuransi kliennya untuk membayar sejumlah
1.400 dollar Amerika untuk konsultasi “khusus” yang ternyata adalah pertemuan
seksual psikolog dengan kliennya. Penahanan lisensi psikolog tersebut segera
dilakukan setelah insiden itu diketahui. Psikolog tersebut memulai konseling
dengan seorang wanita dan suaminya. Setelah perceraian wanita tersebut dengan
suaminya, wanita tersebut kembali menemui psikolog tersebut untuk terapi. Tak
lama kemudian, hubungan seksual antara psikolog dan wanita tersebut terjadi.
Tidak hanya terjadi di luar negri saja, namun di Indonesia di
negeriyang kita cintai ini, juga terjadi kasus-kasus uang serupa terjadi
seperti yang dituliskan oleh Anna Alhanna pada Selasa, 08 Januari 2013 di sitiroikhanah.blogspot.com, menyatakan
bahwa Seorang
psikolog laki-laki melakukan psikotes untuk penerimaan pramugari suatu
perusahaan penerbangan terkemuka tempatnya bekerja. Ia tertarik dengan salah
seorang perempuan cantik yang menjadi calon pramugari tersebut, namun ternyata
ia gagal dalam tes. Psikolog tersebut melihat bahwa perempuan tersebut sangat
membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Calon pramugari itu
kemudian menawarkan bahwa ia mau melakukan hubungan seksual dengan psikolog
itu, dengan syarat ia dapat diterima di perusahaan itu. Dan akhirnya psikolog
itu tergiur dan menyepakati syarat pramugari tersebut.
Tidak hanya kasus pelecehan seksual saja yang dapat di
langgar, seperti yang di jelaskan pada pasal Kode Etik Psikologi Indonesia
Pasal 16 (dalam Juneman 2011) menjelaskan bahwa hubungan majemuk sedapat
mungkin dihindari jika dapat menganggu objektifitas atau memunculkan
eksploitasi atau dampak negatif. Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 14
(dalam Juneman, 2011), pelecehan seksual yang dilakukan oleh psikolog merupakan
suatu hal yang terlarang karena dapat mengakibatkan efek negative.
Namun kasus kasus
seperti pada pasal 4 tentang Penyalahgunaan
di bidang Psikologi, Pasal 7 tentang Ruang Lingkup Kompetensi, Pasal 65 tentang Interpretasi Hasil Asesmen,
Pasal 66 tentang Penyampaian Data dan
Hasil Asesmen, pada Pasal 73 tentang
Informed Consent dalam Konseling dan Terapi.
Adapun kasus tersebut di kutip dari asmianifawziah.blogspot.com pada 23
november 2012 yang di tulis oleh asmianifawziah, adapun kasus tersebut
ialah Seorang ibu membawa anaknya yang
masih duduk di bangku dasar kelas 2 ke psikolog di biro psikologi YYY.sang ibu
meminta kepada psikolog agar anaknya diperiksa apakah anaknya termasuk anak
autisme atau tidak. Sang ibu khawatir bahwa anaknya menderita kelainan autism
karena sang ibu melihat tingkah laku anaknya berbeda dengan tingkah laku
anak-anak seumurnya.Psikolog itu kemudian melakukan test terhadap anaknya. Dan
hasilnya sudah diberikan kepada sang ibu, tetapi sang ibu tersebut tidak
memahami istilah – istilah dalam ilmu psikologi. Ibu tersebut meminta hasil
ulang test dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Setelah dilakukan
hasil tes ulang, ternyata anak tersebut didiagnosa oleh psikolog yang ada di
biro psikologi itu mengalami autis. Anak tersebut akhirnya diterap. Setelah
beberapa bulan tidak ada perkembangan dari hasil proses terapi. Ibu tersebut
membawa anaknya kembali ke biro psikologi yang berbeda di kota X, ternyata anak
tersebut tidak mengalami autis, tetapi slow learned. Padahal anak
tersebut sudah mengkonsumsi obat-obatan dan makanan bagi anak penyandang autis.
Setelah diselediki ternyata biro psikologi YYY tersebut tidak memiliki izin
praktek dan yang menangani bukan psikolog, hanyalah sarjana psikologi Strata 1.
Ibu tersebut ingin melaporkan kepada pihak yang berwajib, tetapi ibu tersebut
dengan psikolog itu tidak melakukan draft kontrak dalam proses terapi.
Belum lagi Adnan
Saleh, pada selasa 10 April 2012, dalam taman-semesta.blogspot.com menyampaikan
bahwa, Pertengahan bulan Februari tahun
ini, salah satu organisasi daerah yang ada di Kota Yogyakarta, berasal salah
satu kabupaten di Sulawesi Selatan mengadakan Safari Pendidikan sebagai program
yang bertujuan untuk memperkenalkan pendidikan di kota budaya ini termasuk
PTN/PTS, saya juga mengikuti program ini. Sasaran dari kegiatan tersebut adalah
mengunjungi SMA/SMK secara langsung di kabupaten tersebut.
Memasuki hari pertama, kami mengunjungi beberapa sekolah
termasuk tempat dimana saya selesai SMA. Sebagai alumni, beberapa guru dan staf
Bimbingan & Konseling masih aku kenal. Hal yang ganjil aku temukan ketika
pada saat itu juga diadakan test psikologi, ketika bercerita dengan beberapa
staff BK, yang memberi instruksi, intervensi dan supervisi adalah guru yang memiliki
pendidikan strata satu dalam pendidikan bergelar S.Pd. lembaga yang mengadakan
tes tersebut merupakan Biro Psikologi yang berkedudukan di ibu kota provinsi.
Dalam hal ini, biro tersebut telah mengadakan kerja sama dalam bentuk
pelaksanaan psikotes dengan sekolah. Biro ini hanya mengirimkan alat tesnya
kemudian hasilnya akan dikirim ulang. Bentuk intervensi dan supervisi
selanjutnya di serahkan kepada sekolah dalam hal ini kepada staf guru BK.
Adapun tes yang diberikan bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat
penjurusan kelas III (IPA, IPS dan Bahasa).
Di sini dapat kita lihat betapa maraknya pelangaran kasus
kasus kode etik psikologi di Indonesia ini, siapa yang mau di salahkan? Apakah oknum
oknum psikologi di Indonesia ini yang tidak beres, atau memang system kode etik
yang kurang tegas dalam memberikan sanksi terhadap oknum oknum yang melanggar
kode kode etik yang telah di tetapkan? Atau mungkinkah Indonesia sendiri yang
tidak mau mengurusi dan membentengi kode etik yang telah di tetapkan oleh
Himpsi sehingga kode etik dalam psikologi ini terlihat sangat lemah.
Dalam dunia profesi tentunya diperlukan sebuah norma atau
aturan untuk mengatur profesionalitas kinerja seseorang. Aturan atau norma
tersebut umumnya berisi ketentuan-ketentuan yang membatasi seseorang tentang
hal-hal yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilanggar. Dalam dunia praktik
ilmu psikologi pun juga dikenal sebuah kode etik dimana berisi
ketentuan-ketentuan bagi seorang psikolog untuk menjadi seorang yang profesional.
Kode etik psikologi dikeluarkan oleh Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi).
Kode etik psikologi dikeluarkan oleh Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi).
merupakan organisasi perkumpulan para psikolog dan
ilmuwan psikologi di seluruh Indonesia. Kode etik Psikologi wajib untuk ditaati
oleh seorang Psikolog atau Ilmuwan Psikologi. Seorang psikolog adalah
orang-orang yang telah menempuh pendidikan S1 bidang ilmu Psikologi dan telah
melanjutkan studinya ke jenjang S2. Seorang Psikolog memiliki hak untuk membuka
praktek konsultasi Psikologi. Dalam membuka praktik Psikologi, seorang Psikolog
harus mempunyai sertifikat atau lisensi untuk membuka praktik konsultasi
psikologi yang dikeluarkan oleh Himpsi. Lisensi tersebut berfungsi sebagai
legalitas dan juga sebagai fungsi kontrol dari Himpsi tentang praktik
konsultasi psikologi yang dilakukan oleh psikolog tersebut.
Sedangkan ilmuwan psikologi adalah seorang lulusan S1
Psikologi atau seorang yang menempuh pendidikan S2 atau S3 di bidang Psikologi
namun pendidikan S1 di luar bidang ilmu Psikologi. Seorang ilmuwan psikologi
tidak diizinkan untuk membuka praktik konsultasi Psikologi. Mereka
diperbolehkan untuk melakukan jasa Psikologi, seperti melakukan tes psikologi.
Namun dalam melakaukan tes Psikologi mereka tidak berwenag untuk melakukan
interpretasi. Interpretasi hasil tes psikologi dilakukan oleh seorang psikolog.
Aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban Psikolog dan Ilmuwan Psikologi tersebut juga sudah diatur secara jelas dalam kode etik Psikologi Indonesia. Dalam kode etik Psikologi Indonesia juga dijelaskan tentang apa itu jasa Psikologi, praktik Psikologi, pengguna jasa Psikologi, batasan keilmuan Psikologi, tanggung jawab, dan juga aturan-aturan yang lain berkenaan dengan profesionalitas mereka.
Aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban Psikolog dan Ilmuwan Psikologi tersebut juga sudah diatur secara jelas dalam kode etik Psikologi Indonesia. Dalam kode etik Psikologi Indonesia juga dijelaskan tentang apa itu jasa Psikologi, praktik Psikologi, pengguna jasa Psikologi, batasan keilmuan Psikologi, tanggung jawab, dan juga aturan-aturan yang lain berkenaan dengan profesionalitas mereka.
Namun, dalam kenyataanya, terkadang tidak semua Psikolog
atau seorang Ilmuwan Psikologi mematuhi kode etik tersebut. Pelanggaran
terhadap kode etik tersebut tentunya mempengaruhi profesionalitas kerja seorang
psikolog atau ilmuwan psikologi.
Dalam Ethical Satandards of The American Counselling Association (Gladding,2007) disebutkan bahwa seorang konselor atau psikolog mempunyai tanggung jawab untuk membaca, memahami, dan mengikuti kode etik dan standard kerja. Sedangkan di Indonesia sendiri, dalam kode etiknya juga sudah diatur mengenai pelanggaran terhadap kode etik. Yaitu dalam pasal 17 yang menyatakan bahwa “Setiap penyalahgunaan wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi oleh aparat organisasi yang berwenang sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia” (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Dalam Ethical Satandards of The American Counselling Association (Gladding,2007) disebutkan bahwa seorang konselor atau psikolog mempunyai tanggung jawab untuk membaca, memahami, dan mengikuti kode etik dan standard kerja. Sedangkan di Indonesia sendiri, dalam kode etiknya juga sudah diatur mengenai pelanggaran terhadap kode etik. Yaitu dalam pasal 17 yang menyatakan bahwa “Setiap penyalahgunaan wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi oleh aparat organisasi yang berwenang sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia” (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Namun, dalam kenyataannya, banyak ditemukan pelanggaran
terhadap kode etik yang dilakukan oleh seorang psikolog atatu ilmuwan
psikologi. Salah satunya adalah tentang malpraktek psikologi. Malpraktek
merupakan praktek psikologi yang jelek, salah dan tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah yang seharusnya dilakukan. Atau dapat juga dikatakan sebagai
penyimpangan terhadap praktek psikologi. Waringah (2011) dalam kuliahnya
menjelaskan bahwa sebab-sebab terjadinya malpraktek antara lain adalah
penyimpangan alat yang digunakan; penyimpangan prosedur yang digunakan;
penyimpangan penggunaan data atau hasil tes psikologi untuk keperluan pribadi;
penyipangan tujuan tes psikologis, penyimpangan hubungan konselor dan klien;
penyimpangan hak atau karya cipta alat-alat tes psikologis; penyimpangan
publikasi; penyimpangan dalam hubungan profesional; dan
penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak sesuai dengan kode etik Psikologi
Indonesia.
Namun, dalam kenyataannya, banyak ditemukan pelanggaran
terhadap kode etik yang dilakukan oleh seorang psikolog atatu ilmuwan
psikologi. Salah satunya adalah tentang malpraktek psikologi. Malpraktek
merupakan praktek psikologi yang jelek, salah dan tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah yang seharusnya dilakukan. Atau dapat juga dikatakan sebagai
penyimpangan terhadap praktek psikologi. Waringah (2011) dalam kuliahnya
menjelaskan bahwa sebab-sebab terjadinya malpraktek antara lain adalah
penyimpangan alat yang digunakan; penyimpangan prosedur yang digunakan;
penyimpangan penggunaan data atau hasil tes psikologi untuk keperluan pribadi;
penyipangan tujuan tes psikologis, penyimpangan hubungan konselor dan klien;
penyimpangan hak atau karya cipta alat-alat tes psikologis; penyimpangan
publikasi; penyimpangan dalam hubungan profesional; dan
penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak sesuai dengan kode etik Psikologi
Indonesia.
Salah satu contoh penyimpangan tersebut adalah adanya
mahasiswa S1 yang membuka praktek konseling. Menurut hasil survey dalam APA’s
Annual Convention tahun 2011 (dalam http://www.apa.org/monitor/2010/10/google.aspx)
menemukan bahwa lebih dari 150 mahasiswa lulusan S1 psikologi telah melakukan
layanan konseling on line. Baik melalui Mysapce, Facebook, atau LinkedIn.
Meskipun konseling tersebut dilakukan secara on line namun hal itu tetap
menyalahi kode etik Psikologi. Selain itu, pelaksanaan konseling psikologi
secara online juga dapat melanggar hak privasi klien.
Di Indonesia sendiri, ketentuan mengenai hal tersebut
telah diatur dalam Pedoman Umum pasal 1 poin a dan b. Dalam kedua poin tersebut
dijelaskan bahwa yang seorang ilmuwan psikologi (lulusan S1 Psikologi) hanya
berhak memberikan jasa pelayanan psikologi dan tidak berwengan melakukan
praktik psikologi. Praktik tersebut termasuk memberikan memberikan jasa dan
praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat
individual maupun kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk
dalam pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi
yang berkaitan dengan melakukan kegiatan diagnosis, prognosis, konseling, dan
psikoterapi (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Contoh pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh
seornag peneliti atau ilmuwan psikologi adalah penyimpangan publikasi. Yaitu
salah satunya tentang pengakuan hasil karya atau tulisan orang lain sebagai
tulisan pribadi atau disebut juga plagiat. Plagiarisme, dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai tindakan/perbuatan yang mengambil, menyalin,
menduplikasi, dan sebagainya, karya oran lain dan menjadikannya karya sendiri
tanpa sepengatahuan atau izin sang pemiliknya. Untuk itu tindakan ini
digolongkan sebagai tindakan pidana, yaitu pencurian terhadap hasil karya/
kekayaan intelektual milik orang lain (dalam http://jual-jurnal.blogspot.com/2010/04/menghindari-plagiarisme-dalam-karya.html).
Ada beberapa jenis pelanggaran yang termasuk dalam
plagiarisme. Dalam (http://findarticles.com/?tag=content;col1) disebutkan bahwa
jenis plagiarism yang paling sering dilakukana dalah mengirim hasil karya orang
lain atas nama pribadi; menyalin informasi kata demi kata dari internet, salah
parafrase dan tanpa mencantumkan referensi.
Bagi seorang psikolog atau ilmuwan psikologi yang melakukan plagiarism berarti telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 15 kode etik Psikologi Indonesia. Pasal tersebut mengatur tentang “Penghargaan terhadap karya cipta pihak lain dan pemanfaatan karya cipta pihak lain” (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Bagi seorang psikolog atau ilmuwan psikologi yang melakukan plagiarism berarti telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 15 kode etik Psikologi Indonesia. Pasal tersebut mengatur tentang “Penghargaan terhadap karya cipta pihak lain dan pemanfaatan karya cipta pihak lain” (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa
a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghargai karya
cipta pihak lain sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku;
b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan untuk
mengutip, menyadur hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya;
c) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan
menggandakan, memodifikasi, memproduksi, menggunakan baik sebagian maupun
seluruh karya orang lain tanpa mendapatkan izin dari pemegang hak cipta”.
Salah satu kasus plagiarism yang cukup mengagetkan di
Indonesia adalah kasus Prof Dr Anak Agung Banyu, dosen Universitas Parahyangan
(Unpar), yang terpaksa dicopot gelar profesornya karena terbutkti melakukan
plagiarism (dalam http://yusaksunaryanto.wordpress.com/2010/02/10). Kasus lain
tetang kasus plagiarism juga disebutkan dalam Journals Step up Plagiarism
Policing. Cut-and-paste culture tackled by CrossCheck software (2010). Dalam
jurnal tersebut disebutkan bahwa 21 dari 216 jurnal yang diajukan kepada
Scientific American pada periode pertama terpaksa ditolak karena telah terbukti
melakukan plagiarism. Sedangkan pada periode kedua ada 13 dari 56 artikel yang
ditolak (http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=journals-police-plagiarism).
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang
penulis atau peneliti dalam menghindari palgiarism. Yaitu dengan cara mengutip
kata atau kalimat orang lain tanpa memparaphrase namun harus digunakan tanda
petik dan pencatuman sumbernya. Jumlah kata yang dikutip pun juga dibatasi.
Yang kedua adalah dengan menuliskan kembali dengan kalimat sendiri atau
melakukan pharaprase dan tetap mencantumkan sumbernya.
Dari pihak akademisi atau penelitian pun ada cara yang dapat ditempuh untuk mendeteksi plagiarism dalam penelitian atau penulisan. Smith, et al (2007) dalam jurnalnya menyebutkan, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengantisipasinya adalah dengan cara menyimpan, menyortir, makalah yang dikirimkan oleh mahasiswa melalui email. Tujuan dari data base tersebut adalah untuk membantu menciptakan iklim kejujuran dalam dunia akademik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith, menemukan bahwa makalah yang dikirim oleh mahsiswanya, yang dipilih secara random, menunjukkan adanya plagiarism.
Dari pihak akademisi atau penelitian pun ada cara yang dapat ditempuh untuk mendeteksi plagiarism dalam penelitian atau penulisan. Smith, et al (2007) dalam jurnalnya menyebutkan, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengantisipasinya adalah dengan cara menyimpan, menyortir, makalah yang dikirimkan oleh mahasiswa melalui email. Tujuan dari data base tersebut adalah untuk membantu menciptakan iklim kejujuran dalam dunia akademik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith, menemukan bahwa makalah yang dikirim oleh mahsiswanya, yang dipilih secara random, menunjukkan adanya plagiarism.
Hal tersebut digolongkan sebagai ketidakjujuran akademis.
Data base yang telah dimiliki dapat membantu mendeteksi kasus ketidakjujuran
akademisi seperti memotong dan mem paste dari sebuah situs web atau dengan
menyerahkan tugas yang sebelumnya.
Dalam menyelesaikan semua kasus pelanggaran terhadap kode etik Piskologi Indonesia diperlukan keterlibatan beberapa pihak. Mengenai hal ini, keterlibatan Majelis Psikologi Indonesia diperlukan untuk menentukan sanksi apa yang akan diberikan. Pelaku pelanggaran pun juga diberi kesempatan untuk membela diri. Ketentuan ini telah disepakati dalam kode etik Psikologi Indonesia dalam pasal 18.
Dalam menyelesaikan semua kasus pelanggaran terhadap kode etik Piskologi Indonesia diperlukan keterlibatan beberapa pihak. Mengenai hal ini, keterlibatan Majelis Psikologi Indonesia diperlukan untuk menentukan sanksi apa yang akan diberikan. Pelaku pelanggaran pun juga diberi kesempatan untuk membela diri. Ketentuan ini telah disepakati dalam kode etik Psikologi Indonesia dalam pasal 18.
Jadi, sebenarnya kode etik psikologi sejalan dengan
perundang-undangan yang berada di Indonesia, apabila pelanggaran kode etik psikologi
yang berat dan menyakiti orang lain dapat sejalan dengan hukum kriminalitas dan
mendapat saksi yang serupa dengan perundang-undangan di Indonesia, namun
pelanggara kode etik psikologi yang bersifat Administrasi belum dapat di atasi
oleh Indonesia sepenuhnya, maklum negeri ini masih dalam negeri yang sedang
berkembang dan memiliki problematika yang konkret.
Assalamualaikum
BalasHapusinformasi yg sangat membantu dalam penyelesaian tugas mata kuliah kode etik psikologi saya
mohon izin untuk mencopy kasus2 diatas