Rabu, 27 Maret 2013

ARTIKEL

KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI YANG TIDAK MASUK PELANGGARAN HUKUM DI INDONESIA

Pemberitaan pelanggaran kode etik psikologi memang sudah banyak yang muncul di media cetak dan elektronik, mengenai psikolog klinis yang berhubungan seksual dengan kliennya. BBC News (2000) memberitakan bahwa seorang psikolog, yang sudah menikah, berhubungan seksual dengan klien wanitanya yang datang dengan tujuan untuk melakukan konseling. Kasus ini menyebabkan psikolog tersebut dikeluarkan dari British Psychological Society (BPS). Psikolog yang bernama tersebut Timothy Naylor dianggap melakukan pelanggaran kode etik profesi. Menurut Patricia Hitchcock, juru bicara BPS, menjelaskan bahwa hubungan personal muncul setelah sesi terapi dan berujung pada seks tanpa proteksi. Selain itu, Naylor juga meminta wanita tersebut untuk tidak menceritakan hal ini kepada terapis sebelumnya atau orang lain. Apabila wanita tersebut menceritakan hal ini, wanita tersebut bisa saja kehilangan pekerjaan dan hak asuh anaknya.
Brazas dari Lawyers.com (n.d.) juga memberitakan kasus serupa yaitu seorang psikolog asal Tampa, Florida, lisensinya dicabut setelah terbukti melakukan hubungan seksual dengan seorang kliennya. Selain itu, psikolog tersebut meminta perusahaan asuransi kliennya untuk membayar sejumlah 1.400 dollar Amerika untuk konsultasi “khusus” yang ternyata adalah pertemuan seksual psikolog dengan kliennya. Penahanan lisensi psikolog tersebut segera dilakukan setelah insiden itu diketahui. Psikolog tersebut memulai konseling dengan seorang wanita dan suaminya. Setelah perceraian wanita tersebut dengan suaminya, wanita tersebut kembali menemui psikolog tersebut untuk terapi. Tak lama kemudian, hubungan seksual antara psikolog dan wanita tersebut terjadi.
Tidak hanya terjadi di luar negri saja, namun di Indonesia di negeriyang kita cintai ini, juga terjadi kasus-kasus uang serupa terjadi seperti yang dituliskan oleh Anna Alhanna pada Selasa, 08 Januari 2013 di sitiroikhanah.blogspot.com, menyatakan bahwa Seorang psikolog laki-laki melakukan psikotes untuk penerimaan pramugari suatu perusahaan penerbangan terkemuka tempatnya bekerja. Ia tertarik dengan salah seorang perempuan cantik yang menjadi calon pramugari tersebut, namun ternyata ia gagal dalam tes. Psikolog tersebut melihat bahwa perempuan tersebut sangat membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Calon pramugari itu kemudian menawarkan bahwa ia mau melakukan hubungan seksual dengan psikolog itu, dengan syarat ia dapat diterima di perusahaan itu. Dan akhirnya psikolog itu tergiur dan menyepakati syarat pramugari tersebut.
Tidak hanya kasus pelecehan seksual saja yang dapat di langgar, seperti yang di jelaskan pada pasal Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 16 (dalam Juneman 2011) menjelaskan bahwa hubungan majemuk sedapat mungkin dihindari jika dapat menganggu objektifitas atau memunculkan eksploitasi atau dampak negatif. Kode Etik Psikologi Indonesia Pasal 14 (dalam Juneman, 2011), pelecehan seksual yang dilakukan oleh psikolog merupakan suatu hal yang terlarang karena dapat mengakibatkan efek negative.

Namun kasus kasus seperti pada pasal 4 tentang Penyalahgunaan di bidang Psikologi, Pasal 7 tentang Ruang Lingkup Kompetensi, Pasal 65 tentang Interpretasi Hasil Asesmen, Pasal 66 tentang Penyampaian Data dan Hasil Asesmen, pada Pasal 73 tentang Informed Consent dalam Konseling dan Terapi.
Adapun kasus tersebut di kutip dari asmianifawziah.blogspot.com pada 23 november 2012 yang di tulis oleh asmianifawziah, adapun kasus tersebut ialah Seorang ibu membawa anaknya yang masih duduk di bangku dasar kelas 2 ke psikolog di biro psikologi YYY.sang ibu meminta kepada psikolog agar anaknya diperiksa apakah anaknya termasuk anak autisme atau tidak. Sang ibu khawatir bahwa anaknya menderita kelainan autism karena sang ibu melihat tingkah laku anaknya berbeda dengan tingkah laku anak-anak seumurnya.Psikolog itu kemudian melakukan test terhadap anaknya. Dan hasilnya sudah diberikan kepada sang ibu, tetapi sang ibu tersebut tidak memahami istilah – istilah dalam ilmu psikologi. Ibu tersebut meminta hasil ulang test  dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Setelah dilakukan hasil tes ulang, ternyata anak tersebut didiagnosa oleh psikolog yang ada di biro psikologi itu mengalami autis. Anak tersebut akhirnya diterap. Setelah beberapa bulan tidak ada perkembangan dari hasil proses terapi. Ibu tersebut membawa anaknya kembali ke biro psikologi yang berbeda di kota X, ternyata anak tersebut tidak mengalami autis, tetapi slow learned. Padahal anak tersebut sudah mengkonsumsi obat-obatan dan makanan bagi anak penyandang autis. Setelah diselediki ternyata biro psikologi YYY tersebut tidak memiliki izin praktek dan yang menangani bukan psikolog, hanyalah sarjana psikologi Strata 1. Ibu tersebut ingin melaporkan kepada pihak yang berwajib, tetapi ibu tersebut dengan psikolog itu tidak melakukan draft kontrak dalam proses terapi.
Belum lagi Adnan Saleh, pada selasa 10 April 2012, dalam taman-semesta.blogspot.com menyampaikan bahwa, Pertengahan bulan Februari tahun ini, salah satu organisasi daerah yang ada di Kota Yogyakarta, berasal salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan mengadakan Safari Pendidikan sebagai program yang bertujuan untuk memperkenalkan pendidikan di kota budaya ini termasuk PTN/PTS, saya juga mengikuti program ini. Sasaran dari kegiatan tersebut adalah mengunjungi SMA/SMK secara langsung di kabupaten tersebut.
Memasuki hari pertama, kami mengunjungi beberapa sekolah termasuk tempat dimana saya selesai SMA. Sebagai alumni, beberapa guru dan staf Bimbingan & Konseling masih aku kenal. Hal yang ganjil aku temukan ketika pada saat itu juga diadakan test psikologi, ketika bercerita dengan beberapa staff BK, yang memberi instruksi, intervensi dan supervisi adalah guru yang memiliki pendidikan strata satu dalam pendidikan bergelar S.Pd. lembaga yang mengadakan tes tersebut merupakan Biro Psikologi yang berkedudukan di ibu kota provinsi. Dalam hal ini, biro tersebut telah mengadakan kerja sama dalam bentuk pelaksanaan psikotes dengan sekolah. Biro ini hanya mengirimkan alat tesnya kemudian hasilnya akan dikirim ulang. Bentuk intervensi dan supervisi selanjutnya di serahkan kepada sekolah dalam hal ini kepada staf guru BK. Adapun tes yang diberikan bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan kelas III (IPA, IPS dan Bahasa).
Di sini dapat kita lihat betapa maraknya pelangaran kasus kasus kode etik psikologi di Indonesia ini, siapa yang mau di salahkan? Apakah oknum oknum psikologi di Indonesia ini yang tidak beres, atau memang system kode etik yang kurang tegas dalam memberikan sanksi terhadap oknum oknum yang melanggar kode kode etik yang telah di tetapkan? Atau mungkinkah Indonesia sendiri yang tidak mau mengurusi dan membentengi kode etik yang telah di tetapkan oleh Himpsi sehingga kode etik dalam psikologi ini terlihat sangat lemah.
Dalam dunia profesi tentunya diperlukan sebuah norma atau aturan untuk mengatur profesionalitas kinerja seseorang. Aturan atau norma tersebut umumnya berisi ketentuan-ketentuan yang membatasi seseorang tentang hal-hal yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilanggar. Dalam dunia praktik ilmu psikologi pun juga dikenal sebuah kode etik dimana berisi ketentuan-ketentuan bagi seorang psikolog untuk menjadi seorang yang profesional.
Kode etik psikologi dikeluarkan oleh Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi).
merupakan organisasi perkumpulan para psikolog dan ilmuwan psikologi di seluruh Indonesia. Kode etik Psikologi wajib untuk ditaati oleh seorang Psikolog atau Ilmuwan Psikologi. Seorang psikolog adalah orang-orang yang telah menempuh pendidikan S1 bidang ilmu Psikologi dan telah melanjutkan studinya ke jenjang S2. Seorang Psikolog memiliki hak untuk membuka praktek konsultasi Psikologi. Dalam membuka praktik Psikologi, seorang Psikolog harus mempunyai sertifikat atau lisensi untuk membuka praktik konsultasi psikologi yang dikeluarkan oleh Himpsi. Lisensi tersebut berfungsi sebagai legalitas dan juga sebagai fungsi kontrol dari Himpsi tentang praktik konsultasi psikologi yang dilakukan oleh psikolog tersebut.
Sedangkan ilmuwan psikologi adalah seorang lulusan S1 Psikologi atau seorang yang menempuh pendidikan S2 atau S3 di bidang Psikologi namun pendidikan S1 di luar bidang ilmu Psikologi. Seorang ilmuwan psikologi tidak diizinkan untuk membuka praktik konsultasi Psikologi. Mereka diperbolehkan untuk melakukan jasa Psikologi, seperti melakukan tes psikologi. Namun dalam melakaukan tes Psikologi mereka tidak berwenag untuk melakukan interpretasi. Interpretasi hasil tes psikologi dilakukan oleh seorang psikolog.
Aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban Psikolog dan Ilmuwan Psikologi tersebut juga sudah diatur secara jelas dalam kode etik Psikologi Indonesia. Dalam kode etik Psikologi Indonesia juga dijelaskan tentang apa itu jasa Psikologi, praktik Psikologi, pengguna jasa Psikologi, batasan keilmuan Psikologi, tanggung jawab, dan juga aturan-aturan yang lain berkenaan dengan profesionalitas mereka.
Namun, dalam kenyataanya, terkadang tidak semua Psikolog atau seorang Ilmuwan Psikologi mematuhi kode etik tersebut. Pelanggaran terhadap kode etik tersebut tentunya mempengaruhi profesionalitas kerja seorang psikolog atau ilmuwan psikologi.
Dalam Ethical Satandards of The American Counselling Association (Gladding,2007) disebutkan bahwa seorang konselor atau psikolog mempunyai tanggung jawab untuk membaca, memahami, dan mengikuti kode etik dan standard kerja. Sedangkan di Indonesia sendiri, dalam kode etiknya juga sudah diatur mengenai pelanggaran terhadap kode etik. Yaitu dalam pasal 17 yang menyatakan bahwa “Setiap penyalahgunaan wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi oleh aparat organisasi yang berwenang sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia” (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Namun, dalam kenyataannya, banyak ditemukan pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan oleh seorang psikolog atatu ilmuwan psikologi. Salah satunya adalah tentang malpraktek psikologi. Malpraktek merupakan praktek psikologi yang jelek, salah dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang seharusnya dilakukan. Atau dapat juga dikatakan sebagai penyimpangan terhadap praktek psikologi. Waringah (2011) dalam kuliahnya menjelaskan bahwa sebab-sebab terjadinya malpraktek antara lain adalah penyimpangan alat yang digunakan; penyimpangan prosedur yang digunakan; penyimpangan penggunaan data atau hasil tes psikologi untuk keperluan pribadi; penyipangan tujuan tes psikologis, penyimpangan hubungan konselor dan klien; penyimpangan hak atau karya cipta alat-alat tes psikologis; penyimpangan publikasi; penyimpangan dalam hubungan profesional; dan penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak sesuai dengan kode etik Psikologi Indonesia.
Namun, dalam kenyataannya, banyak ditemukan pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan oleh seorang psikolog atatu ilmuwan psikologi. Salah satunya adalah tentang malpraktek psikologi. Malpraktek merupakan praktek psikologi yang jelek, salah dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang seharusnya dilakukan. Atau dapat juga dikatakan sebagai penyimpangan terhadap praktek psikologi. Waringah (2011) dalam kuliahnya menjelaskan bahwa sebab-sebab terjadinya malpraktek antara lain adalah penyimpangan alat yang digunakan; penyimpangan prosedur yang digunakan; penyimpangan penggunaan data atau hasil tes psikologi untuk keperluan pribadi; penyipangan tujuan tes psikologis, penyimpangan hubungan konselor dan klien; penyimpangan hak atau karya cipta alat-alat tes psikologis; penyimpangan publikasi; penyimpangan dalam hubungan profesional; dan penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak sesuai dengan kode etik Psikologi Indonesia.
Salah satu contoh penyimpangan tersebut adalah adanya mahasiswa S1 yang membuka praktek konseling. Menurut hasil survey dalam APA’s Annual Convention tahun 2011 (dalam http://www.apa.org/monitor/2010/10/google.aspx) menemukan bahwa lebih dari 150 mahasiswa lulusan S1 psikologi telah melakukan layanan konseling on line. Baik melalui Mysapce, Facebook, atau LinkedIn. Meskipun konseling tersebut dilakukan secara on line namun hal itu tetap menyalahi kode etik Psikologi. Selain itu, pelaksanaan konseling psikologi secara online juga dapat melanggar hak privasi klien.
Di Indonesia sendiri, ketentuan mengenai hal tersebut telah diatur dalam Pedoman Umum pasal 1 poin a dan b. Dalam kedua poin tersebut dijelaskan bahwa yang seorang ilmuwan psikologi (lulusan S1 Psikologi) hanya berhak memberikan jasa pelayanan psikologi dan tidak berwengan melakukan praktik psikologi. Praktik tersebut termasuk memberikan memberikan jasa dan praktik kepada masyarakat dalam pemecahan masalah psikologis yang bersifat individual maupun kelompok dengan menerapkan prinsip psikodiagnostik. Termasuk dalam pengertian praktik psikologi tersebut adalah terapan prinsip psikologi yang berkaitan dengan melakukan kegiatan diagnosis, prognosis, konseling, dan psikoterapi (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).
Contoh pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh seornag peneliti atau ilmuwan psikologi adalah penyimpangan publikasi. Yaitu salah satunya tentang pengakuan hasil karya atau tulisan orang lain sebagai tulisan pribadi atau disebut juga plagiat. Plagiarisme, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tindakan/perbuatan yang mengambil, menyalin, menduplikasi, dan sebagainya, karya oran lain dan menjadikannya karya sendiri tanpa sepengatahuan atau izin sang pemiliknya. Untuk itu tindakan ini digolongkan sebagai tindakan pidana, yaitu pencurian terhadap hasil karya/ kekayaan intelektual milik orang lain (dalam http://jual-jurnal.blogspot.com/2010/04/menghindari-plagiarisme-dalam-karya.html).
Ada beberapa jenis pelanggaran yang termasuk dalam plagiarisme. Dalam (http://findarticles.com/?tag=content;col1) disebutkan bahwa jenis plagiarism yang paling sering dilakukana dalah mengirim hasil karya orang lain atas nama pribadi; menyalin informasi kata demi kata dari internet, salah parafrase dan tanpa mencantumkan referensi.
Bagi seorang psikolog atau ilmuwan psikologi yang melakukan plagiarism berarti telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 15 kode etik Psikologi Indonesia. Pasal tersebut mengatur tentang “Penghargaan terhadap karya cipta pihak lain dan pemanfaatan karya cipta pihak lain” (Kode Etik Psikologi Indonesia,2000).




Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa
a)      Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghargai karya cipta pihak lain sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku;
b)      Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan untuk mengutip, menyadur hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya;
c)      Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan menggandakan, memodifikasi, memproduksi, menggunakan baik sebagian maupun seluruh karya orang lain tanpa mendapatkan izin dari pemegang hak cipta”.
Salah satu kasus plagiarism yang cukup mengagetkan di Indonesia adalah kasus Prof Dr Anak Agung Banyu, dosen Universitas Parahyangan (Unpar), yang terpaksa dicopot gelar profesornya karena terbutkti melakukan plagiarism (dalam http://yusaksunaryanto.wordpress.com/2010/02/10). Kasus lain tetang kasus plagiarism juga disebutkan dalam Journals Step up Plagiarism Policing. Cut-and-paste culture tackled by CrossCheck software (2010). Dalam jurnal tersebut disebutkan bahwa 21 dari 216 jurnal yang diajukan kepada Scientific American pada periode pertama terpaksa ditolak karena telah terbukti melakukan plagiarism. Sedangkan pada periode kedua ada 13 dari 56 artikel yang ditolak (http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=journals-police-plagiarism).
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang penulis atau peneliti dalam menghindari palgiarism. Yaitu dengan cara mengutip kata atau kalimat orang lain tanpa memparaphrase namun harus digunakan tanda petik dan pencatuman sumbernya. Jumlah kata yang dikutip pun juga dibatasi. Yang kedua adalah dengan menuliskan kembali dengan kalimat sendiri atau melakukan pharaprase dan tetap mencantumkan sumbernya.
Dari pihak akademisi atau penelitian pun ada cara yang dapat ditempuh untuk mendeteksi plagiarism dalam penelitian atau penulisan. Smith, et al (2007) dalam jurnalnya menyebutkan, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengantisipasinya adalah dengan cara menyimpan, menyortir, makalah yang dikirimkan oleh mahasiswa melalui email. Tujuan dari data base tersebut adalah untuk membantu menciptakan iklim kejujuran dalam dunia akademik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith, menemukan bahwa makalah yang dikirim oleh mahsiswanya, yang dipilih secara random, menunjukkan adanya plagiarism.
Hal tersebut digolongkan sebagai ketidakjujuran akademis. Data base yang telah dimiliki dapat membantu mendeteksi kasus ketidakjujuran akademisi seperti memotong dan mem paste dari sebuah situs web atau dengan menyerahkan tugas yang sebelumnya.
Dalam menyelesaikan semua kasus pelanggaran terhadap kode etik Piskologi Indonesia diperlukan keterlibatan beberapa pihak. Mengenai hal ini, keterlibatan Majelis Psikologi Indonesia diperlukan untuk menentukan sanksi apa yang akan diberikan. Pelaku pelanggaran pun juga diberi kesempatan untuk membela diri. Ketentuan ini telah disepakati dalam kode etik Psikologi Indonesia dalam pasal 18.
Jadi, sebenarnya kode etik psikologi sejalan dengan perundang-undangan yang berada di Indonesia, apabila pelanggaran kode etik psikologi yang berat dan menyakiti orang lain dapat sejalan dengan hukum kriminalitas dan mendapat saksi yang serupa dengan perundang-undangan di Indonesia, namun pelanggara kode etik psikologi yang bersifat Administrasi belum dapat di atasi oleh Indonesia sepenuhnya, maklum negeri ini masih dalam negeri yang sedang berkembang dan memiliki problematika yang konkret.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum
    informasi yg sangat membantu dalam penyelesaian tugas mata kuliah kode etik psikologi saya
    mohon izin untuk mencopy kasus2 diatas

    BalasHapus